Translate

Selasa, Maret 31, 2020

Garut, Jawa Barat

Rehat Sesaat di Swiss Van Java 

By: Benediktus Beben

Desa Adat Kampung Naga

Desember 2019, saat dunia belum terpapar Covid 19, saat belum ada Lockdown...
Kami dan sebagian dari keluarga besar, memutuskan untuk jalan-jalan ke kota Garut, beberapa hari sebelum pulang kampung untuk liburan Natal.

Pondok Tempayan

Sesungguhnya keinginan buat jalan-jalan bareng dengan keluarga besar sangat kuat, tapi  hanya sebatas wacana dan belum terealisir karena beberapa alasan.. Akhirnya secara spontan kita pilih piknik ke kota tetangga saja yang dekat dan elok.. Garut.


Kita berangkat di hari Sabtu sore tgl. 21 Desember 2019 karena jarak Bandung Garut hanya 1,5 jam perjalanan dengan berkendaraan Kami bertemu di penginapan Pondok Tempayan Cipanas yang asri yang beralamat di Jl. Cipanas Baru No.133, Pananjung, Kec. Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jawa Barat 44151.


Terima kasih Pak Endar dan team dari Pondok Tempayan yang sudah menyiapkan tempat buat kami menginap.

Pondok Tempayan

Seru pisan saat berkumpul di Ruang makan.. ada yang masak, ada yang ngemil saja (saha tah?? haha) ada yang ngahuleng ada yang bagi-bagi kamar ..pokonya seneng banget bisa kumpul seperti ini.. kebayang kalau lebih banyak yang bisa gabung.. makin heboh sigana nya..

Ngintip senja..
Setelah cukup makan dengan segala bekal yang ada, kami jalan menuju 'Tirta Gangga' sebuah tempat pemandian Air Panas yang sudah cukup lama dan terkenal di Cipanas.
Tempat ini sebenarnya sudah tidak asing karena sudah pernah beberapa kali ke sini dengan Almarhum orang tua kami dan beberapa saudara kami. Sesampainya di sini anak-anak dan ortu yang mau ngaruru langsung nyebur ke kolam.. wow serunya berendam di air panas di cuaca yang dingin.

Berendam Air hangat
Pemandian air panas Cipanas ini berupa kolam pemandian terbuka dengan air kolam yang bersih berasal dari mata air dengan kualitas air yang jernih, rasa yang tawar dan bau air yang normal. Wisatawan yang datang berkunjung tidak hanya berasal dari Garut tapi banyak juga dari luar kota seperti Bandung dan  Jakarta.


Walaupun Garut tergolong kota kecil dengan luas hanya ‎3.065,19 km2, namun mempunyai potensi wisata yang cukup besar untuk lebih dikembangkan lagi. Kalau berkunjung ke kota Garut, banyak oleh-oleh yang bisa dibawa pulang.

Kampung Naga dari atas bukit
Yang terkenal tentu saja Dodol Garut, siapa yang tidak kenal dengan oleh-oleh yang satu ini sampai Garut dijuluki kota Dodol. Selain itu ada juga cemilan kripik, rengginang, renggining, coklat cokodot dan banyak lagi macamnya.


Jangan lupa beli berbagai macam kerajinan tangan dan juga tas atau jaket dari kulit domba.. Nah Garut juga dikenal dengan kota Domba karena terkenal domba nya yang berkualitas bagus.


Dan hebatnya lagi, selain julukan di atas, dari jaman baheula ternyata Garut sudah punya julukan lain yaitu "Mooi Garoet atau Garoet Mooi", adalah ungkapan kekaguman, seperti halnya Mooi Indie. Apa yang patut dikagumi dari Garut ?.


Mooi Garoet berarti Garut yang Elok. Ini adalah pujian klasik zaman kolonial pada keindahan alam tanah jajahannya. Bukan hanya karena tanahnya yang subur, tetapi juga pada panoramanya yang indah. Garut, merupakan salah satu daerah yang dianggap layak untuk menadapat pujian itu.


Selain itu Garut dijuluki 'Swiss van Java’ atau Swissnya Jawa dan mulai popular sekitar awal abad ke-20. Saat itu, Garut dikenal sebagai tujuan wisata yang paling menarik di dunia. Garut juga memiliki panorama alam yang keindahannya tak kalah mengagumkan.


Pemandangan pegunungan terhampar luas di Garut. Udaranya sejuk, serta suasana kota yang asri semakin menambah kenyamanan Kota ini. Garut yang permai, digambarkan dalam Encyclopedie van Nederlands-Indie (Ensiklopedia Hindia-Belanda) terbitan tahun 1917.



Hamparan pegunungannya yang sangat indah, diibaratkan seperti pegunungan Alpen yang menguasai sebagian besar wilayah Swiss. Ditambah dengan cuaca Garut yang sejuk dan dingin dimalam hari, menjadikan Garut memang mirip dengan Swiss.


Belum lagi dengan keramah-tamahan penduduknya. Bukan hal yang berlebihan jika Garut memang diibaratkan sebagai Swiss-nya Pulau Jawa.


Selain itu banyak julukan lain untuk kota Garut.. Garut Kota Intan, Garut kota Gurilap, Garut kota Pangirutan ( kepincut) yang menunjukan bahwa Garut sangat indah dan terkenal di masa lalu sampai masa kini.. Hebat pisan Garut euy..


Keseruan di kolam renang masih berlanjut sampai malam, Krucil-krucil Gangga, Tata, Kekey dan si cubby Kal tak kalah serunya sama Tekay, Puput dan Orin juga Oma dan opa nya wkwkwk...
Setelah puas berendam kita pulang ke Pondok tempayan melewatkan malam di kamar yang nyaman...


Malam ini kami bisa istirahat di Cipanas yang dingin dan tidur pulas sampai terbangun keesokan harinya.. Setelah sarapan rencana kami hari ini pergi ke Gereja mengikuti Misa Minggu.


Atas saran dan masukan dari Bu Tita, setelah selesai Misa, kita akan belajar kearifan ke sebuah desa tradisional yang terkenal juga di perbatasan antara Garut dan Tasikmalaya yaitu Kampung Naga..


Pukul 7.30 ada jadwal Misa minggu di Paroki 'Santa Perawan Maria Yang Terkandung Tak Bernoda' Garut atau Paroki Samarga. Jadi kami bergegas pergi meninggalkan pondok tempayan yang nyaman dan sekalian pamit kepada pengurus di sana.


Tiba di Gereja, misa sudah dimulai jadi kita dapat diskon sedikitlah.. karena di bawah penuh jadi kita ikut misa dari balkon gereja.


Gereja Garut hanya kecil saja tapi gerejanya cukup unik dan bagus, menyatu dengan pastoran dan komplek sekolah Yos sudarso.


Selesai misa, kami berdoa di Bunda Maria dan bertemu dengan teman-teman lama yang kami kenal.. ini ajang nostalgia buat ibu Kristine yang sudah pernah lama tinggal di Garut karena pernah mengajar di kota ini beberapa tahun yang lalu..


Selamat bernostalgia ...tak lupa jajan-jajan cemilan di pedagang yang ada di halaman gereja ya..


Sekitar pukul 10.00 kami berangkat lagi menuju Kampung Naga yang bisa ditempuh sekitar 1 atau 2 jam dari kota Garut. Karena kita belum makan siang jadi kita stop dulu di sebuah Rumah Makan 'Megawati'.. makanannya enak-enak juga di sini..ada ayam goreng dan semur jengkol yang nikmat..


Setelah menikmati makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Naga dan tiba 30 menit kemudian di pintu masuk kampung ini.


Saya sering mendengar Kampung Naga ini tapi belum pernah kesampean ke sini, jadi sangat antusias bisa berkunjung ke sini dan bergegas jalan dengan dipandu oleh seorang pemandu lokal warga Kampung Naga bernama Pak Sarya...

Pak Sarya guide lokal kampung naga
Kami memasuki Gerbang desa dan berjalan turun ke lembah dengan pemandangan yang indah, bukit dan pesawahan yang hijau sungguh memanjakan mata dan mencerahkan pikiran yang ruwet.. cling.. serasa dibersihkan nih otak melihat keindahannya..


Tak habis2nya mengabadikannya dalam jepretan kamera dan camera handphone.. pemandangan desa yang jarang kami tenui lagi setelah tinggal di kota besar.. Jadi ingat kampung halama di masa kecil...


Kaki terus melangkah menuruni jalan setapak..mata jelalatan memandang jauh pemandangan yang indah dan hijaunya bukit dan sawah. Di perjalanan, kami berpapasan dengan beberapa pengunjung Kampung Naga yang ngos-ngosan naik ke arah pulang. Semangat ibu bapak...


Ada seorang pelukis yang sedang menjajakan lukisan buatannya di pinggir jalan.. lukisan dari cat yang bagus bertema pemandangan kampung naga.. pinteran ngelukisnya ya si Bapak ini...Saat pulang kami beli lukisannya pak buat kenang-kenangan..


Jalanan turun berakhir di jalan yang rata, melewati sawah-sawah yang sedang di garap. Suara kodok bersahut-sahutan diiringi gemercik air dari pematang sawah.


Di sebelah kanan ada sebuah sungai besar dan airnya jernih mengalir halus terdengar.. indahnya..


Dari kejauhan sudah tampak rumah-rumah tradisional beratap ijuk hitam tersusun rapi dari lembah sampai ke bukit...


Kami memasuki desa ini melewati kolam-kolam ikan dan tempat mandi dengan pancuran bambu yang jernih airnya..


Ada lumbung padi dan tempat numbuk padi yang masih kuno tetapi masih dipakai sampai saat ini. Wah spot yang bagus nih buat foto-foto cantik.. nah ini hasilnya wkwk..


Lihat tempat numbuk padi seperti ini kembali ingat masa kecil di kampung kami.. Waktu saya kecil, twmpat numbuk padi masih banyak ditemui biasanya dari hasil panen di sawah langsung ditumbuk rame rame di balai desa.


Dan saat ini di desa kami peralatan seperti ini masih dipakai pada saat upacara adat Seren Taun.. mungkin juga ada beberapa desa adat di Jawa Barat yang masih menggunakannya sampai sekarang.


Kami terus berjalan melewati rumah-rumah penduduk yang sama bentuk dan ukurannya.. rumah panggung dari kayu, beratapkan ijuk dan beralas tikar..


Sangat sederhana dan asri.. menyejukan.. dengan warganya yang sangat ramah mengajak mampir.


Ibu-ibu di sini rata-rata petani, pedagang dan pengrajin anyaman dari bambu. Intinya mereka memelihara alam dan mengelola hasilnya untuk kehidupan.. kearifan lokal yang sudah mulai pudar  dan perlu dilestarikan.


Pak Sarya guide kami, mengajak kami mampir ke rumahnya yang asri.. Kami masuk dari pintu dapur dengan isi dapur yang masih tradisional alias kuno buat anak-anak milenial.


Ada perapian, hawu atau tungku terbuat dari tanah beserta kayu bakarnya (pengganti kompor di jaman sekarang) dan peralatan dapur yang jadul.. duh jadi ingat lagi dapur jaman dulu di rumah mimih saat masa kecil dulu..


Dari dapur, kami dipersilakan masuk ke ruang tamu, duduk beralaskan tikar dan disuguhi minuman teh hangat dan wajit yang manis..


Terima kasih Pak sarya sudah boleh mampir di rumahmu yang asri dan menenangkan. Saat kami berkunjung kebetulan istri dan anak-anak pak Sarya sedang bekerja jadi kami tidak sempat kenalan ya..


Dari rumah Pak Sarya, kami meneruskan jalan kaki keliling kampung dan melewati sebuah lapangan dengan sebuah mesjid Kampung Naga yang terbuat dari Kayu dan masih tampak kokoh..


Dari beberapa catatan sejarah, Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut.


Namun, asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor".


Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu sendiri.


Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Masyarakat kampung naga menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/sejarah mereka pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia.

Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.


Kampung Naga dipimpin oleh satu lembaga adat yang terdiri dari tiga tokoh adat, yaitu kuncen, lebe adat, dan punduh adat, yang dijabat secara turun-temurun dan tidak dipilih oleh warga.
Kuncen bertugas sebagai pemangku dan pemimpin upacara adat.


Lebe mempunyai tugas membantu pihak yang meninggal, dari memandikan sampai menguburkan, kemudian punduh mempunyai tugas sebagai penyebar informasi ke masyarakat.


Penghuni atau kaum Naga yang tinggal di desa adat tersebut sebanyak 300 orang dari 101 kepala keluarga. Terdapat 113 bangunan yang terdiri dari 110 rumah (101 dihuni dan 9 rumah kosong) dan tiga bangunan sarana umum yaitu masjid, balai pertemuan, dan lumbung padi.


Sekitar 97 persen warga asli Kampung Naga sudah bertempat tinggal di luar desa. Warga kampung naga di luar disebut dengan istilah "sanaga" atau satu keturunan Kampung Naga. Warga Kampung Naga sudah menyebar terutama di tiga kecamatan, yaitu Slawu, Puspahiyang, dan Cigalontang.


Keturunan Kampung Naga yang tinggal di luar disesuaikan dengan kondisi luar, artinya boleh memakai rumah permanen dan listrik, namun tetap mengikuti upacara adat setahun enam kali, terutama setiap hari besar Islam.


Agama Islam sendiri diperkirakan masuk ke Kampung Naga pada abad XIV. Sebuah masjid didirikan di sebelah timur lapangan sentral atau semacam alun-alun di kampung tersebut.


Salah satu hal yang unik di Kampung Naga adalah dikaitkannya hari raya umat Islam dengan larangan adat yang berlaku di desa tersebut. Terdapat tiga hari larangan mengadakan kegiatan adat, yaitu pada Selasa, Rabu, dan Sabtu. Pada hari-hari tersebut, Kampung Naga tidak boleh melakukan kegiatan adat.


Namun, larangan tersebut ditoleransi ketika penduduk Kampung Naga merayakan Idul Fitri. Misalnya Lebaran jatuh pada Selasa, maka salat Id tetap dilakukan pada Selasa, namun upacara adat hajat masih dilaksanakan pada Kamis.
Apabila Lebaran jatuh pada hari yang bukan termasuk larangan, maka akan dilangsungkan upacara adat langsung setelah salat Id.


Ternyata kita banyak belajar dari kearifan Kampung Naga yang sederhana kehidupannya.. di tengah-tengah kehidupan yang serba modern, kita sekali-sekali bolehlah berkunjung ke sana untuk belajar tentang kehidupan...


Hari menjelang sore dan kamipun berpamitan pada kampung Naga dan alam sekitarnya yang telah memberikan kedamaian, memeberikan pelajaran yang sangat berharga..